Organisasi keagamaan Islam saat ini dan ke depan semakin banyak tantangan dalam berbagai aspek kehidupan. Termasuk tantangan khusus di bidang keagamaan, baik yang berkaitan dengan semakin berkembangnya beragam interpretasi atau paham keislaman, maupun yang bersifat empiris dan masalah-masalah keislaman yang bersifat aktual. Menghadapi kehidupan yang semakin terbuka, bhineka, dan melintas-batas di era globalisasi, modernisasi abad 21, dan revolusi teknologi informasi yang sangat cepat dan kompleks sungguh menuntut pandangan keislaman yang kokoh dan berkemajuan. Karena organisasi keagamaan Islam itu merupakan gerakan Islam yang menjalankan dua misi utama dakwah dan tajdid, maka semestinya pemahaman keislaman menjadi dasar dan orientasi dalam menghadapi tantangan zaman yang kompleks di era baru itu.
Organisasi keagamaan Islam tidak cukup memadai hanya dengan sikap praktis-pragmatis dalam menghadapi isu-isu dan permasalahan hidup umat tanpa mencari pijakan dan bingkai pada Islam sebagai ajaran yang menjadi landasan gerakannya. Di sinilah pentingnya kader ulama yang menguasai ilmu-ilmu khusus keislaman sekaligus memiliki keluasan ilmu pengetahuan atau wawasan umum yang bersifat melintasi. Bukan sekadar ahli agama yang bersifat khusus, lebih-lebih dengan wawasan terbatas, namun meniscayakan kedalaman dan keluasan ilmu-ilmu agama yang meminjam terminologi Prof Mukti Ali “Agama cum Ilmu Pengetahuan” dan sebaliknya, sehingga menjadi kader dan sosok yang benar-benar “ar-Rasih fil-‘Ilm” dan “Ulul Albab” sebagaimana terminotogi Al-Qura’n.
Ulama adalah mereka yang berilmu. Dua ayat rujukan dalam Al-Qura’n tentang “ulama” bentuk jama dari alim dalam Surat Al Fathir ayat ke-28 menunjuk pada mereka yang memiliki ilmu yang “khasya” (takut, bertagwa) kepada Allah SWT, serta “ulama Bani Israil” yang mengetahui akan turunnya Nabi Muhammad SAW (QS Asy-Syu’ara’: 197). Sementara mereka yang berilmu, berpikir, dan shaleh banyak dirujuk dalam Al-Qura’n maupun Hadis Nabi Muhammad SAW, yang menunjukkan derajat kualitas manusia berilmu secara multisifat dan multiaspek. Dalam perkembangan sejarah dan sosiologi Islam ulama sering diindentikkan dengan mereka yang berilmu-agama secara khusus dalam kategori “ulumu al-din” sebagaimana istilah Al-Ghazali, meski Syaikhul Islam ini juga mengakui mereka yang berilmu-umum. Mereka yang mempelajari “Dirasat Islamiyyah” (Islamic Studies) sering diidentikkan dengan ulama khusus itu, meskipun dalam wacana kontemporer seperti dikembangkan oleh Prof Amin Abdullah (2002, 2006) meniscayakan integrasi-interkoneksi dengan ilmu-ilmu umum yang pada dasarnya juga memiliki akar pada epistemologi Islam dan sejarah peradaban Islam. Dengan demikian mereka yang ahli di bidang ilmu-ilmu eksakta, humaniora, dan ilmu-ilmu sosial pun jika memilki dasar-dasar keilmuan dan pengetahuan keislaman maka tergolong ulama.
Dalam pemikiran Amin Abdullah, semua bangunan ilmu merupakan satu kesatuan “Integratit-interkonektif”, sehingga saling “bertegur-sapa” dan tidak menyendiri. Keilmuan agama terhubung dengan keilmuan sosial, keilmuan humaniora, dan keilmuan kealaman. Menurut Prof Amin, hadlarah al-‘ilm (peradaban ilmu) dalam wujud ilmu-ilmu empiris seperti sains, teknologi, dan ilmu-ilmu yang terkait dengan realitas tidak lagi berdiri sendiri tetapi bersentuhan dengan hadlarah al-falsafah (peradaban falsafah), serta terhubung dengan hadlarah al-nash (peradaban teks), sehingga menjadi satu kesatuan yang terkoneksi dalam membangun peradaban umat Islam dan dunia berbasis agama, akal pikiran, dan ilmu pengetahuan yang berkualitas tinggi.
Dalam pandangan Mohammad lqbal (2006), agama (Islam) bukanlah sesuatu yang terpisah. Pengetahuan manusia haruslah koheren satu sama lain. Antara nash, akal, dan insting spiritual terdapat kesatuan. Namun karena keterpisahan agama, akal, dan pengetahuan kemudian umat Islam mundur dalam peradaban. Dalam pandangan pemikir Islam dari Pakistan ini, selama 500 tahun terakhir interpretasi keagamaan dalam Islam praktis berjalan di tempat. Padahal dahulu interpretasi Eropa menerima inspirasi dari dunia Islam. Karenanya diperlukan rekonstruksi interpretasi keagamaan atau keislaman yang kokoh untuk menjawab tantangan kehidupan yang selalu aktual dan mengalami perubahan.
Karenanya ulama muslim tidak boleh terjebak pada pemisahan Islam dan ilmu pengetahuan dalam berbagai aspek dan kaitannya.
Dalam memahami Islam harus dengan pendekatan integratif antara bayani, burhani, dan irfani. Ulama tidak dapat terkotak-kotak dalam sangkarbesi taksomomi keilmuan yang rugid, naif, dan parsial. Saatnya lahir para ulama dengan kualifikasi keilmuan-keislaman yang kuat, mendalam, terintegrasi, dan terinterkoneksi untuk membangun peradaban “khaira ummah” (QS Ali Imran: 110) yang menjadi cita-cita utama Islam yang dalam referensi organisasi keagamaan Islam disebut “Masyarakat Islam yang sebenar-benarnya”. Muslim tersebut. Pada umumnya mereka belajar ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat khusus dalam rumpun Dirasah Islamiyah. Ketika pulang ke tanah air tentu merupakan sumberdaya insani keulamaan yang sangat penting bagi masa depan Islam.
Para kader organisasi keagamaan Islam yang studi di Arab Sudi, Mesir, dan kawasan Timur Tengah tersebut tentu bukan hanya belajar ilmu tetapi juga kebudayaan dan peradaban, terutama ketika Islam jaya di abad keemasan Islam. Mereka jangan terbatas pada penguasaan ilmu-ilmu keisalaman secara verbal, tetapi harus belajar ilmu-ilmu atau interpretasi umum agar semakin luas wawasan dan memiliki kemampuan ilmu-ilmu keisalaman yang integratif-interkonektif seperti disebutkan Prof Amin Abdullah serta menjadikan Islam sebagai agama yang utuh sebagaimana disebutkan Mohammad lqbal. Mereka juga perlu belajar budaya maju dari negera-negara Islam tersebut, tetapi harus selektif dan tidak terbawa arus pada bias Islam dan bias budaya sehingga ketika kembali ke tanah air menjadi ulama ulul. Menjadi gerakan Islam yang modern bukan hanya di Indonesia tetapi di dunia Islam, (Nurcholish).
Interpretasi dan pembaruan amaliah Islamnya melampaui zamannya. Karenanya, para lulusan Timur Tengah sejak belajar hingga pulang mesti menjadi kader ulama yang melintasi. Mereka yang studi dan tinggal tahunan di tengah situasi dunia modern saat ini harus lebih berkemajuan. Kader ulama yang studi di Timur Tengah jangan sebaliknya malah menjelma menjadi konservatif. Jika kader ulama pulang dari Timur Tengah menjadi konservatif, malah akan menjadi paradoks dan bahkan beban bagi organisasi keagamaan Islam. Konsep “al-ruju’ ila Al-Qura’n wa As-Sunnah” jangan disalahpahami menjadi kembali ke Islam masa lampau yang parsial, kulit luar, dan anti-kemajuan. Hal-hal yang ditiru jangan soal cara berpakaian dan alam pikiran yang tekstual. Justru jika “Kembali pada Al-Qura’n dan As-Sunnah” harus mengikuti jejak Nabi Muhammad SAW yang dengan Islam mampu mengeluarkan bangsa Arab yang jahiliyah menjadi bangsa yang berperadaban “al-Madinah al-Munawwarah”. Setelah itu Islam menjadi pusat peradaban dunia berabad-abad lamanya ketika Barat masih tertidur lelap. Namun kini Islam tertinggal dari Barat karena jauh dari jiwa kedua sumber ajaran Islam yang melintasi sebagaimana diajarkan Nabi Muhsmmad SAW dengan tradisi Iqra sebagai kunci pembuka dan penyebar risalah Islam untuk membangun “khyaira ummah” dan menjadikan Islam sebagai “din al-Hadlarah”.
Pahami dan luaskan pemikiran tentang pendekatan bayani, burhani, dan irfani dalam memahami dan mengaktualisikan Islam. Tajdid purifikasi dan dinamisasi perlu pemahaman yang mendalam dan luas. Bacalah berbagai buku atau kitab klasik dan kontemporer dari manapun datangnya, meskipun ditulis oleh seorang ateis sekalipun agar tahu alam pikiran atheisme. Jika menolak pemikiran liberal-sekuler harus berdasarkan ilmu, jangan ikut-ikutan. Tetapi jangan pula anti-liberal kemudian larinya menjadi konservatif dan ultra-konservatif atas nama kemurnian dan prinsip Islam.
Kenapa demikian? Karena organisasi keagamaan Islam saat ini dan ke depan menghadapi zaman posmodern dan era revolusi pasca 4.0 yang luar biasa maju dan kompleks. Organisasi keagamaan Islam dengan pemikiran purifikasi dan dinamisasi Islam, serta pemahaman keislaman bayani-burhani-irfani yang terintegrasi harus makin kaya pemikiran dan amal usahanya yang semakin berkemajuan. Tabligh pun harus berkemajuan menghadapi zaman baru itu. Tabligh jangan terjebak “al-dawah lil-mu’aradlah” (reaktif dan kontra) tetapi kembangkan “ad-dawah lil-muwajahah” (proaktif hadapi tantangan) dengan pikiran dan langkah alternatif. Di situlah letak peran para kader ulama dan aktivis organisasi keagamaan Islam lulusan berbagai perguruan tinggi di dalam dan luar negeri agar menjadi sosok ulama-ilmuwan yang berkemajuan melintas-batas. Siapapun yang berilmu tentu tidak lepas dari penguasaan dasar-dasar keislaman sekaligus keilmuan dalam berbagai aspek itu, sehingga tidak terjadi dikotomi. Bahwa yang satu lebih kuat penguasaannya pada ilmu keislaman khusus dan lainnya bersifat umum, maka hal itu tidaklah menjadi masalah. Lebih-lebih dalam konteks Islam bahwa berilmu bukan hanya bersandar pada penguasaan keilmuan, tetapi juga meniscayakan iman yang membentuk kesholehan dan pengamalan yang melahirkan tindakan berbasis iman dan ilmu sehingga terbangun peradaban Islami yang rahmatan lil-‘alamin. Di sinilah letaknya kekuatan Islam karena segala sesuatu tidak diletakkan secara parsial dan saling terlepas, tetapi terkoneksi dan terintegrasi.
Sahrudin, M.Pd. (Pegiat literasi/Dosen STAIS DHARMA Indramayu)
Leave a Reply